Semua Bisa Mandiri Energi…

Enam bulan terakhir, Karnadi, warga Dusun Sono, Desa Bandungsari, Ngaringan, Grobogan, punya kesibukan baru. Pria berusia sekitar 60 tahun itu kini bertanam jarak bersama sepuluh rekannya yang tergabung dalam Kelompok Tani Sri Rejeki. Satu kelompok mendapat jatah menanam bibit jarak pada demplot seluas 2,5 hektar.

"Sampai sekarang sih belum menghasilkan. Mungkin baru beberapa bulan lagi panen," ujar Karnadi, yang menjabat sebagai ketua kelompok tani itu.

Selain bantuan bibit jarak, Karnadi juga mendapat bantuan kompor briket jarak. Bentuk kompor itu mirip dengan kompor minyak tanah biasa. Namun, bagian tengah kompor terdapat cekungan untuk menampung briket jarak.

Satu kompor bisa menampung sepuluh buah briket yang bisa digunakan untuk memasak selama dua jam. Dengan harga Rp 100 per butir, memasak dengan briket ini jelas jauh lebih irit dibandingkan dengan menggunakan minyak tanah. Apalagi, harga minyak tanah mencapai Rp 2.600 per liter.

"Tetapi, kompor itu belum pernah saya pakai," ujar Karnadi malu-malu. "Soalnya saya enggak mengerti cara memakainya. Apa kompor itu bisa dipakai seperti kompor minyak tanah, ya?" ujarnya sambil menunjukkan kompor yang masih terbungkus plastik.

Karnadi mengaku belum pernah mendapat pengarahan soal penggunaan kompor minyak jarak. Namun, dia sudah mendapat penyuluhan dari Dinas Kehutanan Grobogan soal bertanam jarak dan apa peranan minyak jarak di masa mendatang.

Karnadi adalah salah satu anggota dari 21 kelompok tani binaan PT Energi Hijau Lestari atau Enhil. Perusahaan itu mengolah biji jarak menjadi berbagai produk, seperti minyak jarak, briket, dan sabun. Produk-produk itu nantinya dipasarkan lagi kepada masyarakat sehingga masyarakat menjadi mandiri.

"Inilah yang dimaksud Desa Mandiri Energi, masyarakat tidak lagi bergantung pada pemerintah. Masyarakat bisa menyediakan sendiri sumber energinya," ujar Hartono, Direktur PT Enhil.

Kepastian harga

Untuk menciptakan DME memang tidak mudah. Yang utama, niat itu harus muncul dari masyarakat. Mereka bersedia menanam jarak, tetapi masyarakat kesulitan mengolahnya. Oleh karena itu, masyarakat harus mendapat kepastian bahwa biji jarak yang mereka tanam akan ditampung dan diolah oleh pabrik.

"Pabrik ini didirikan sebagai jaminan bahwa kami akan membeli biji jarak dari mereka," kata Hartono.

Setiap kelompok tani kecamatan itu diikat dengan perjanjian berupa kepastian pembelian dan kepastian harga. Dengan perjanjian itu, pasokan jarak dari petani terus mengalir sehingga pabrik bisa terus berproduksi.

Pabrik itu didirikan di atas lahan seluas 10.525 meter persegi dengan luas bangunan 1.200 meter persegi. Pabrik juga dilengkapi dengan tiga unit mesin expeller dengan kapasitas 2,5 ton, satu unit mesin pembuat sabun, satu unit mesin pengupas biji jarak, dan satu unit mesin pembuat briket.

PT Enhil membeli biji jarak petani dengan kulitnya seharga Rp 700 per kilogram. Apabila sudah dikupas, harga biji jarak berkisar Rp 700-Rp 1.000 per kilogram. Perusahaan itu juga menerima jasa pengolahan biji jarak menjadi minyak jarak. Ongkos pengolahan minyak jarak adalah Rp 500 per liter.

Ampas jarak

Minyak jarak hasil olahan pabrik juga dijual dengan harga Rp 1.500 per liter. Sedangkan ampas jarak dimanfaatkan oleh perusahaan untuk briket dan sabun antiseptik. Briket itu dijual dengan harga Rp 100 per buah dan sabun dijual kepada masyarakat dengan harga Rp 500 per buah.

"Harganya sangat terjangkau bagi masyarakat kecil," kata Hartono. Dengan harga murah dan kembali ke masyarakat, banyak yang mempertanyakan dari mana PT Enhil mendapat keuntungan. "Saya hanya tertawa. Mereka lupa, jarak itu banyak sekali mendatangkan untung. Air cucian dan kulit jarak saja laku," ujarnya.

Air cucian biji jarak dibeli oleh sebuah perusahaan Korea. Air cucian jarak ternyata mengandung unsur NPK sehingga bermanfaat untuk pupuk. Sedangkan endapan dari hasil pengepresan biji jarak laku dijual hingga Rp 10.000 per kilogram. Konon, endapan itu berkhasiat sebagai obat kanker.

Sebuah perusahaan Jepang juga membeli ampas minyak jarak seharga Rp 5.000 per kilogram. Ampas itu akan diteliti khasiatnya.

Melihat kesuksesan PT Enhil membina DME di Grobogan, banyak pemerintah daerah yang tertarik mengembangkan jarak di daerahnya. PT Enhil mendapat tawaran kerja sama dari tiga kabupaten, yakni Kendal, Rembang, dan Blora.

Kebanyakan pemerintah daerah, kata Hartono, masih bingung soal konsep DME. Beberapa malah lebih mempersoalkan payung hukum. Padahal, sebagai misi sosial, pemerintah daerah tak perlu banyak tuntutan kepada masyarakat.

Biaya mendirikan DME sebenarnya cukup murah. Sedikitnya tersedia lahan seluas 250 hektar dan unit pengolahan minyak jarak mini (UPM). Biaya pembelian UPM cukup terjangkau, hanya sekitar Rp 20 juta.

"Seluruh desa sebenarnya bisa menjadi DME. Hanya saja yang penting kemauan masyarakat dan didukung sepenuhnya oleh pemerintah daerah," ujarnya.

Karnadi mengaku senang mendapat bantuan bibit dan bertanam jarak. Apalagi, jarak bisa menjadi sumber penghasilan tambahan bagi keluarganya. Namun, dia masih mempertanyakan janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan memberikan bantuan sebesar Rp 10 miliar bagi para petani jarak.

"Padahal, waktu SBY mau datang, saya ikut kerja bakti. Tetapi, kok sekarang belum juga turun bantuannya," katanya. (KHAIRINA)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna dan Lambang Mathla'ul Anwar

Asal-Usul Khittah Mathla'ul Anwar dan Perubahan Maknanya

Perlunya Kawasan Industri Halal untuk UMKM