Asal-Usul Khittah Mathla'ul Anwar dan Perubahan Maknanya
Asal-Usul Khittah Mathla'ul Anwar dan Perubahan Maknanya
Oleh DR. KH. Jihaduddin, MPd*
Dari sudut pandang sejarahnya, sejak awal munculnya gagasan
khittah memang sudah bersifat politis. Istilah khittah sebenarnya menjadi
masyhur setelah pertemuan pertama Majelis Fatwa wa Tabligh di Tangerang pada
tahun 1960. Namun, makna atau konsepsi yang sebenarnya dari khittah itu sendiri
tidak jelas, karena ia banyak berkaitan dengan Anggaran Dasar/Anggaran Dasar
Rumah Tangga (AD/ART).
Pentingnya merumuskan khittah mengemuka ketika Mathla’ul Anwar
menjadi salah satu sasaran serangan politik para pengikut setia Soekarno.
Karena Mathla’ul Anwar dianggap sebagai bagian dari sejarah dan identitas yang
memisahkannya dari Masyumi. Khittah tampaknya berfungsi sebagai jalan untuk
merumuskan identitas politik organisasi yang diharapkan dapat meyakinkan pihak
penguasa akan ketidakbersalahannya secara politik.
Hingga awal 1970an, para pemimpin Mathla’ul Anwar terus-menerus
mempertahankan gagasan melihat AD/ART sebagai khittah. KH.Entol Burhani
menjelaskan bahwa Mathla’ul Anwar berdasarkan khittah-nya tidak akan menjadi
bagian dari organisasi manapun, baik politik maupun sosial. Dia juga
menjelaskan bahwa yang ia maksud dengan khittah adalah AD/ART, yang
menggariskan watak kemandiriannya.
Dari sudut pandang ini, bisa dipahami bahwa Mathla’ul Anwar
tidak secara resmi mengakui buku Uwes Abu Bakar, Ishlahul Ummah dalam
Menerangkan Arti As Sunnah wal Jama’ah yang terbit pads 1969 sebagai
khittah-nya yang resmi. Memang kebanyakan anggotanya menjadikan buku ini
sebagai acuan utama bagi pandangan mereka karena buku ini berhasil menjelaskan
dasar-dasar yang digariskan dalam AD/ART secara lebih utuh, termasuk pemikiran
agama serta pandangan politik. Namun banyak oranglebih menganggap buku ini
berfungsi sebagai penjelasan utuh (tafsir) AD/ART, daripada khittah resmi.
Dihadapkan dengan keadaan politik yang berubah pada pertengahan
tahun 1970an, Mathla’ul Anwar merumuskan isi pokok khittah-nya. Selain itu,
istilah khittah sendiri tidak lagi digunakan dan diganti dengan nama baru,
yaitu Risalah Azizah. Mathla’ul Anwar kemudian menghadapi krisis kelembagaan
selama muktamar nasional pada bulan Juli 1975, yang berujung kepada kegagalan.
Salah satu sebab kegagalan ini adalah perselisihan tentang gagasan yang
dikembangan oleh Nafsirin Hadi untuk menghapuskan sebagian besar badan-badan
otonom yang ada, seperti untuk pemuda, pelajar, perempuan (muslimat), dan
buruh.
Kegagalan untuk mencapai kesepakatan tentang masalah ini
mendorong mereka yang menentang gagasan reformasi struktural untuk meninggalkan
muktamar. Menghadapi krisis kelembagaan ini, pada sesi akhir peserta muktamar
yang masih bertahan memutuskan untuk membentuk komite khusus yang terdiri dari
tujuh tokoh yang dipimpin oleh KH. Uyeh Balukiya dan memiliki tugas khusus
untuk menjelaskan dan menyusun AD/ART serta hal-hal yang terkait.
Enam bulan kemudian atau Januari 1976, komite itu
menyelenggarakan pertemuan di mana ia berhasil membuat AD/ART baru serta
penjelasannya yang utuh atau secara resmi disebut tafsir azasi. Dalam AD/ART
baru ini, Pancasila untuk pertama kalinya ditambahkan sebagai satu unsur
pendirian ideologi Mathla’ul Anwar, beserta Islam menurut ajaran Ahlussunnah
waljamaah. Komite yang dipimpin oleh ketua Majelis Fatwa itu setuju untuk
mempertahankan Majelis Fatwa. Selain itu, komite ini bahkan menjadikan Majelis
Fatwa sebagai badan tertinggi dengan kewenangan yangtidak hanya untuk
mengendalikan pengurus pusat tetapi juga untuk memecat ketua umum.
Karena gagasan ini bersifat baru, komite pada saat yang sama
merumuskan semacam petunjuk kerja untuk Majelis Fatwa. Terakhir, komite
menyepakati untuk mempertahankan beberapa badan otonom, seperti Biro Pelajar,
Biro Pemuda, Biro Muslimat, dan lain-lain. Pada saat yang sama, komite membuat
biro baru, Biro Usaha, menggantikan Biro Buruh. Setelah merampungkan tugasnya,
komite kemudian menyerahkan hasilnya ke Majelis Fatwa sebagai lembaga
tertinggi, yang kemudian mensahkan dan menamakan dokumen ini sebagai Risalah
Azizah pada Maret 1976.
Menariknya, AD/ART yang baru itu dan beberapa panduan tambahan
tidak lagi disebut khittah seperti sebelumnya, tetapi disebut sebagai Risalah
Azizah. Dari maknanya, Risalah Azizah harus dilihat sebagai penyelesaian puncak
bagi perpecahan internal akibat kegagalan muktamar 1975 dan seluruh kelompok
yang berselisih diharapkan menerima semua keputusan, dengan demikian, kesatuan
organisasi diselamatkan.
Sembilan tahun kemudian gagasan khittah yang sesungguhnya
mengemuka lagi ketika Mathla’ul Anwar mengalami perpecahan internal yang gawat.
Para pemimpin kelompok yang akomodatif secara politik itulah yang mulanya mengembangkan
gagasan tersebut. Tidak seperti sebelum tahun 1970an, ketika khittah serupa
dengan AD/ART, gagasan yang baru itu cenderung melihat pemisahan antara khittah
dan AD/ART.
Khittah lebih dipandang sebagai prinsip-prinsip dasar organisasi
khususnya yang terdiri dari norma dan nilai dasar agama dan keorganisasian,
sedangkan AD/ART dirumuskan sebagai dasar praktis untuk struktur dan aturan
organisasi. Khittah dimaksudkan mencakup norma-normadan nilai-nilai dasar dari
AD/ART, yang dilihat sebagai penerapan praktis khittah.
Khittah yang baru itu pertama kali dirumuskan pada muktamar
1985. la menjelaskan pengadopsian Pancasila dan dukungan setia untuk program
pembangunan pemerintah Orde Baru sebagai perwujudan sesungguhnya dari ajaran
Ahlussunnah wal jama’ah, yang merupakan dasar keagamaan khittah.
Sehingga pada tahun 1989, menyusul permintaan kuat dari pengurus
besar, Majelis Fatwa di bawah kepemimpinan KH. Uyeh Balukiya, salah seorang
pemimpin penting, menyelenggarakan pertemuan khusus di Bandung yang kemudian
memaparkan penjelasan rinci tentang isi khittah. Pertemuan yang jelas dikuasai
oleh para pemimpin keagamaan yang secara politik akomodatif itu menghasilkan
beberapa keputusan. Pertama, Pancasila dipandang sebagai hasil ijma’ ummah yang
mengikat seluruh umat Islam Indonesia, termasuk anggota Mathla’ul Anwar untuk
menerima Pancasila tanpa penolakan.
Kedua, pertemuan juga menuntut agar seluruh kegiatan dan
perilaku anggota Mathla’ul Anwar sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal jama’ah.
Salah satu ajarannya adalah bahwa kesetiaan penuh terhadap penguasa yang sah
adalah sangat penting dan bahwa bentuk gerakan pemberontak dikecam. Jadi,
perlawanan terhadap pemerintah yang sah yang diungkapkan oleh sebagian anggota
Mathla’ul Anwar bertentangan dengan ajaran Ahlussunnah wal jama’ah yang benar.
Kedua keputusan yang dikenal sebagai Keputusan-keputusan Rakernas dan
Musyawarah Majelis Fatwa ke IIMathla’ul Anwar tersebut jelas memperkuat
penerapan khittah baru yang sebagian prinsip pentingnya ditolak keras oleh
sebagian kelompok.
Untuk lebih menyebarkan keputusan-keputusan di atas serta
konsepsi resmi Ahlussunnah wal jama’ah di kalangan anggota organisasi, KH. Uyeh
Balukiya secara pribadi lebih memaparkan mazhab teologi ini dalam konteks
hubungan antara umat Islam dan pemerintah. Untuk itu, mantan pejabat militer
ini menyusun buku kecil pada 1993 yang berjudul Aqidah As Sunnah wal jamaah
adalah Kriteria yang Relevan dalam Arah Pembangunan Sekarang.
Di dalamnya, dia memaparkan beberapa aspek yang terkait dengan
konsep Ahlussunnah wal jama’ah, termasuk teologi, hukum dan politik. Kh. Uyeh
Balukiya menganut pendapat bahwa, secara teologis, para pengikut mazhab
pemikiran ini menganut ajaran Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi.
Dalam hukum Islam, mereka mengikuti ajaran dari salah satu empat mazhab yang
dikenal sebagai al-madzahib al-arbaah.
Dorongan utama untuk menyusun risalah tersebut adalah untuk
menggarisbawahi keselarasan prinsip-prinsip Ahlussunnah wal jama’ah dan Ideologi
Pembangunan. Kh. Uyeh Balukiya menekankan prinsip almashlahah al-mursalah
sebagai kerangka penuntun dalam politik bagi para penganut mazhab teologis ini.
Menurut dia, berdasarkan kerangka politik ini, para penganut
sejati Ahlussunnah wal jama’ah harus menolak keras seluruh bentuk penentangan
terhadap pemerintah yang sah, termasuk pemerintah Orde Baru yang merupakan
hasil dari pemilihan yang sah oleh MPR. Selain itu, Kh. Uyeh Balukiya kemudian
menyatakan seluruh umat Islam Indonesia wajib berperan aktif dalam Program
Pembangunan yang dirancang oleh pemerintah.
Kemudian Kh. Uyeh Baluqiyah menjelaskan Pancasila sebagai
ideologi inti yang didukung oleh pemerintah dari sudut pandang agama. Dia
memulai penjelasannya dari sumber-sumber pokok hukum Islam, yang terdiri dari
al-Quran, hadis, ijma dan qiyas. Selain dua sumber yang pertama, yang memberi
wewenang penuh Nabi Muhammad, dua sumber yang terakhir adalah sumber buatan
manusia karena keduanya adalah hasil ijtihad ulama yang, menurut Uyeh Balukiya,
dengan kuat menerapkan prinsip al-mashlahah al-mursalah. Merujuk padaprinsip
ini, Uyeh Balukiya menyebutkan bahwa Pancasila dan UUD 45 adalah hasil ijma,
karena banyak ulama terlibat dalam menyusun keduanya.
Jadi, umat Islam Indonesa juga tanpa keberatan wajib menunjukkan
kesetiaan mereka kepada Pancasila dan UUD 45. Dalam kesimpulannya, Kh. Uyeh
Balukiya menyatakan bahwa ajaran pokok Ahlussunnah wal jama’ah harus menjadi
acuan utama bagi umat Islam Indoensia untuk hidup sesuai dengan program
pembangunan pemerintah berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Isi Dasar Khittah
Penting untuk dibahas tentang isi dari khittah. Secara umum,
isinya dapat diringkas dengan dua masalah pokok, yaitu identitas politik
Mathla’ul Anwar dan haluan keagamaannya. Pertama, terutama menyangkut watak
Mathla’ul Anwar sebagai organisasi massa sosial dan keagamaan untuk umat Islam,
yang utamanya memusatkan pada peningkatan upaya-upaya pendidikan Islam
(tarbiyah), dakwah Islam dan kerja sosial. Untuk itu, Mathla’ul Anwar harus
lebih pragmatis dalam politik dan bahkan siap bekerjasama dengan pemerintah
yang berkuasa dalam mewujudkan tujuan-tujuannya.
Para anggota tim khittah terlibat dalam perbedaan pendapat yang
lama tentang masalah yang menyangkut tentang pragmatis dalam politik. Sebagian
dari mereka mendesak Mathla’ul Anwar untuk tetap mandiri secara politik,
sebagaimana sejak 1952. Sedangkan yang lainnya mengemukakan pandanganyang lebih
realistik dan menekankan kerjasama yang erat dengan pemerintah sebagai pilihan
yang paling masuk akal untuk meraih misi utama organisasi.
Selain itu, perbedaan pendapat juga terjadi pada masalah tentang
apakah kerjasama tersebut memang harus diterapkan dalam bentuk persekutuan
politik yang terang-terangan dengan partai politik penguasa, Golkar. Kelompok
pro-persekutuan (afiliasi) berpendapat bahwa pilihan politik ini adalah
strategi yang paling tepat, karena Mathla’ul Anwar, tidak seperti NU dan
Muhammadiyah, masih dianggap sebagai kelompok Muslim yang kecil dengan pengaruh
yang tidak penting hingga akhir 1980an. Dalam kesimpulan akhirnya, tim itu
tampak mengambil sikap kompromi karena mereka menggarisbawahi prinsip berpiawai
dalam politik serta prinsip kerjasama dalam membangun masyarakat, bekerjasama
dengan pemerintah.
Kedua adalah konsep yang benar dari Ahlussunnah wal jama’ah.
Khittah dimulai dengan menjesakan secara singkat mengenai makna dari
masing-masing kata dalam istilah bahasa Arab, seperti kata ahl, yang bermakna
kelompok pengikut, dan sunnah yang berarti pandangan/jalan hidup. Penjelasan
secara harfiah ini berakhir dengan gambaran umum tentang makna dari istilah
tersebut sebagai jalan untuk mengikuti semua yang telah diajarkan dan
dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya dalam seluruh persoalan yang terkait
dengan akidah, fikih dan muamalah. Dengan demikian maka para pengikut sejati
dari gagasan ini senantiasa harus berpegang kuat pada prinsip yang benar sesuai
dengan ajaran yang ditetapkan dalam al-Quran dan hadis.
Melalui penjelasan tersebut, istilah Ahlussunnah wal jama’ah
mengandung arti “mencerminkan amalan yang murni dan asli dari masyarakat
Islam.” Untuk memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang Ahlussunnah wal
jama’ah, khittah memaparkan ciri-ciri pokok para pengikut aliran Islam ini.
Sebagai para pengikut Sunnah atau Ahlussunnah, para anggota Mathla’ul Anwar
harus menentang keras seluruh bentuk bid’ah. Namun, mereka harus menunjukkan
sikap toleran (tasamuh) terhadap gagasan-gagasan lain, khususnya dalam hal-hal
yang terkait dengan berbagai ajaran dalam fikih, sejauh ajaran itu tidak secara
jelas disebutkan dalam al-Quran dan hadis.
Khittah juga mengakui pentingnya mazhab dalam memberikan
tuntunan bagi masyarakat yang tergolong masih awam, sehingga mereka disarankan
untuk menggunakan taqlid. Namun bagi mereka yang memilikikemampuan yang tinggi
dalam memahami ajaran Islam, khittah mewajibkan mereka untuk menggunakan
ijtihad. Khittah kemudian menekankan tentang kewajiban bagi seluruh pengikut
Ahlussunnah wal jama’ah untuk berusaha secara sungguh-sungguh dalam menyucikan
seluruh ajaran Islam dari unsur takhayyul, bid’ah dan khurafat.
Dalam hal teologi, khittah menyebutkan bahwa hanya yang didukung
oleh Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi yang dianggap sesuai
dengan prinsip-prinsip Ahlussunnah waljamaah. Jadi, khittah menolak
gagasan-gagasan teologi lain seperti Syiah, Khawarij, Muktazilah, Jabariyahdan
lain-lain.
Begitu pula dalam soal fikih, khittah sangat mengagumi ajaran
al-madzahib al-arbaah.Khittah memberi kebebasan kepada masyarakat untuk memilih
ajaran yang mereka ingin anut, berdasarkan prinsip pencarian kebenaran. Dengan
ini maka khittah kemudian mengecam sikap fanatik dari para penganut salah satu
mazhab dalam menyerang para penganut mazhab lain. Khittah bahkan menyarankan
bagi mereka yang memiliki kemampuan tinggi dalam ilmu agama untuk meninggalkan
ajaran mazhab dan melakukan ijtihadnya sendiri.
Terakhir, Khittah menekankan penolakannya terhadap bentuk
tindakan pemberontakan apa pun terhadap pemerintah yang sah, meskipun ia juga
menekankan bahwa ukuran keabsahan tetap berdasarkan kesesuaian dengan ajaran
Islam. Namun, khittah tidak menakrifkan secara jelas makna rinci dan keluasan
penyimpangan makna yang diperbolehkan.
Dalam bagian akhirnya, khittah meringkas seluruh penjelasan ke
dalam sembilan prinsip Organisasi Mathla’ul Anwar, yaitu (1) sangat patuh pada
ajaran al-Quran dan Sunnah, (2) kesatuan dalam akidah, (3) kebersamaan dalam
ibadah, (4) toleran dalam keragaman fikih, (5) menentang keras bid’ah, (6)
mempertahankan kepentingan umat, (7) kepiawaian dalam politik, (8) kerjasama dengan
pemerintah dalam mengembangkan masyarakat secara umum, dan, (9) berjuang di
jalan Allah untuk mendapatkan berkah-Nya.
Perlu diingat bahwa khittah tidak menyebutkan apa pun yang
terkait dengan tasawuf. Berbeda dari Mathla’ul Anwar, NU secara jelas menyebutkan
masalah ini dalam AD/ART-nya. Atas dasar ini, NU merumuskan ukuran untuk aliran
tasawuf yang sah, yang dikenal sebagai al-thariqah almu’tabarah, yang dapat
diusut silsilahnya dari ajaran mahaguru Sufi, AlJunaid al-Baghdadi.
Menurut sejumlah guru senior di Mathla’ul Anwar, tidak adanya
tasawuf dalam khittah sangat terkait dengan kenyataan bahwa organisasi tidak
pernah memberikan banyak perhatian pada masalah ini sejak dari para pendirinya.
Namun, ketiadaannya dalam khittah tidak berarti bahwa amalan tarekat juga tidak
ada dalam kenyataan.
Contoh misalnya Uyeh Balukiyah yang mengembangkan amalan sufi dengan menganut aliran al-Qadiriyah wa al-Naqsyabandiyqh. Di Bandung, bahkan dianggap telah menjadi na’ib (perwakilan) aliran ini setelah mendapatkan ijazah dari mursyid-nya, Kiyai Asrori Banten. Bahkan sekarang ini, pesantrennya dianggap sebagai salah satu pusat utama tarekat di Jawa Barat, dimana ribuan pengikut secara teratur datang untuk menjalankan amalan ibadah.
(Penulis, Ketua Bidang Pendidikan dan
Kebudayaan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, Wakil Rektor I Universitas Mathla’ul
Anwar (Unma) Banten)*
Komentar
Posting Komentar